Diberdayakan oleh Blogger.
RSS

Pendidikan

PENDIDIKAN : HARUSKAH DIPAKSAKAN?


Seperti yang sudah kita tahu, pendidikan merupakan suatu hal yang penting bagi kehidupan manusia. Bahkan pemerintah kita sedang mencanangkan program wajib belajar 12 tahun (yang sebelumnya hanya wajib belajar 9 tahun). Dengan adanya pendidikan, kita bisa mendapatkan segudang wawasan dan pengalaman di samping adanya pernyataan bahwa ilmu bisa didapatkan dari mana saja (dengan artian bukan hanya melalui program pendidikan saja). Meskipun demikian, pernyataan tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak mengenyam bangku sekolah.
            Itu tadi hanya sekedar pengantar. Melalui tulisan ini saya ingin mengeluarkan sesuatu yang terlintas di benak saya mengenai pendidikan berdasarkan cerita yang saya dengar dari ibu saya yang seorang guru TK, kejadian di sekitar saya dan juga pengalaman-pengalaman pribadi saya. Pertama saya ingin membahas pendidikan bagi anak-anak. Sekarang ini banyak orangtua, terutama para ibu yang terobsesi menjadikan anak mereka sebagai yang terpandai atau berbakat. Salah satu murid ibu saya ada yang pandai mewarnai dan sering memenangkan lomba, ibu dari murid tersebutlah yang mendorong agar anaknya pandai mewarnai dengan mengikutkan les mewarnai dan jika ada perlombaan langsung mendaftarkan tanpa persetujuan dari si anak. Bahkan si anak tersebut sampai mengeluh kecapekan dan kadang menjadi ngambek. Yang ada di pikiran saya adalah bagaimana bisa seorang ibu memaksakan anaknya seperti itu. Jangan-jangan ibu tersebut mengincar nominal dari perlombaan jika berhasil memenangkannya. Bukannya berprasangka buruk, tapi jika benar demikian ini merupakan eksplorasi anak. Memang penting mengarahkan atau menumbuhkan bakat pada anak, tapi sebagai orangtua harusnya menyadari bahwa masa anak-anak merupakan masa yang dipenuhi dengan bermain. Boleh-boleh saja jika si anak yang menginginkan sendiri dan selalu menikmati apa yang dilakukannya, tapi bagaimana jika si anak terpaksa sehingga mempengaruhi suasana hatinya? Bisa-bisa suatu saat ketika telah beranjak remaja si anak suka memberontak karena perlakuan di masa kecilnya.
            Kemudian ada lagi kejadian serupa yang menimpa kerabat saya yang duduk di bangku dasar. Ibunya juga terobsesi akan pendidikannya. Setiap sepulang sekolah si anak dilarang pergi bermain karena harus tidur siang. Sehabis tidur siang si anak harus les dan selesai les ada kegiatan mengaji di masjid. Meskipun siang sudah les, ba’da maghrib si anak masih harus belajar bersama ibunya. Saya pernah melihat sendiri bagaimana ibunya ketika mengajari anaknya karena waktu itu saya berkunjung ke rumahnya. Ibunya terus memarahi jika si anak salah menjawab atau tidak bisa saat diberi pertanyaan hingga dia menangis dan berkata, “Kenapa sih ibu marahin aku terus? Aku bilang gak bisa ya gak bisa.” Menanggapi hal ini saya pribadi mempercayai bahwa setiap anak memiliki tingkat kemampuannya masing-masing. Jika memang tingkat kemampuan si anak hanya seperti itu ya mau bagaimana lagi. Dipaksakan sekalipun tidak cukup membantu. Harus dilakukan secara perlahan dengan pendekatan, bukan dibentak-bentak. Yang ada malah si anak menjadi malas.
            Ada juga kejadian lain, kali ini terjadi pada tetangga saya yang juga teman adik saya yang masih di bangku dasar. Berbeda dengan cerita sebelumnya, tetangga saya ini bukan ibunya yang terobsesi melainkan ayahnya. Anak ini juga tidak diperbolehkan pergi bermain sepulang sekolah. Dengar-dengar dia dipukul ayahnya jika nilainya tidak sempurna atau mendekati sempurna. Ayahnya begitu terobsesi dengan peringkat pertama. Untung saja si anak memiliki kemampuan yang tinggi. Secara berturut-turut dia berhasil mendapatkan peringkat pertama di kelasnya. Namun seiring berjalannya waktu si anak gagal mempertahankan peringkat pertamanya. Menurut saya ini karena sejak kecil anak itu dipenuhi belajar dan belajar sehingga semakin lama dia menjadi bosan dengan rutinitas itu dan mulai berani membandel. Guru saya pernah berkata bahwa anak-anak cepat merasa bosan, jadi jika masih anak-anak intensitas belajar seharusnya jangan terlalu padat karena perjalanan dalam pendidikan masih panjang. Jika di awal-awal sudah ditekan sedemikin rupa maka di pertengahan pendidikannya anak itu sudah bosan belajar.
            Selanjutnya menuju ke perguruan tinggi. Dengan banyaknya program studi yang bisa diambil di perguruan tinggi, calon mahasiswa yang belum memiliki tujuan yang jelas pasti akan kebingungan menentukan akan mengambil yang mana. Berbeda dengan yang sudah memantapkan pilihan jauh-jauh hari. Namun demikian program studi yang diinginkan calon mahasiswa bisa berbeda dengan apa yang diinginkan orangtuanya. Ada yang yang kemudian membiarkan anaknya memilih pilihannya sendiri dan ada juga yang tetap ngotot harus mengikuti keinginan orangtua. Sebenarnya yang menjalani nantinya si anak atau orangtuanya? Dampak negatif dari memaksakan kehendak seperti itu adalah mahasiswa menjadi tidak sepenuh hati dalam berkuliah dan bahkan menjalani dengan asal tanpa ada kesungguhan karena tidak sesuai dengan keinginannya. Bukankah calon mahasiswa seharusnya tahu kemampuannya dan program studi apa yang sesuai kemampuannya tersebut? Tapi jika belum mengetahui sehingga membutuhkan saran orangtua atau siapapun maka lain lagi. Saya pernah mendengar cerita tentang orangtua yang memaksa anaknya untuk mengambil program kedokteran, padahal sang anak menginginkan program hukum. Anak itu menuruti keinginan orangtuanya kuliah kedokteran dan berhasil lulus. Kemudian apa yang terjadi selanjutnya? Anak itu memberikan ijazahnya dan berkata, “Saya sudah lulus, ini ijazah yang kalian inginkan.” Pada akhirnya anak itu tidak mau menjadi dokter dan melakukan apa yang diinginkannya dahulu.
            Saya sendiri sebagai mahasiswa tentunya pernah mengalami masa-masa seperti itu. Bapak saya sebenarnya menginginkan saya agar mengambil program studi yang berbau Islam. Ya mungkin karena kedua orangtua saya pernah ‘nyantri’, bisa dibilang religius. Tapi jujur saya tidak tertarik sama sekali karena sejak kelas 10 akhir saya sudah memutuskan pada saatnya nanti saya harus kuliah mengambil program studi yang sekarang ini sedang saya tempuh. Ibu juga tidak keberatan terhadap pilihan saya, beliau memberi kebebasan karena yang menjalani adalah saya. Ketika saya meminta uang kepada bapak untuk mendaftarpun beliau langsung memberikannya dan tikan berkomentar. Saya anggap itu bentuk persetujuan dan terus berjalan hingga berhasil masuk program yang sudah saya rencanakan sejak lama itu.
            Dari sedikit cerita di atas dapat kita jadikan pelajaran bahwasannya sesuatu yang dipaksakan itu kebanyakan berakibat tidak baik. Orangtua seharusnya memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih pendidikan apa yang diinginkan sesuai kemampuannya, tidak terlalu keras dalam memperlakukan anak, dan juga mengetahui bagaimana cara mengajari anak agar tidak berakibat buruk ke depannya. Lalu sebagai anak yang sudah mengerti mana yang baik dan buruk, lakukan yang terbaik yang bisa dilakukan. Dengan begitu orangtua akan lega dan jika tidak sesuai dengan apa yang orangtua inginkan setidaknya orangtua telah melihat bagaimana usaha dan kerja keras anaknya.
             

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS